GrombyangOS: Menyalakan Semangat Open Source dari Pemalang untuk Indonesia

GrombyangOS menyalakan semangat open source

Di tengah riuh berita korupsi yang menyeret nama seorang mantan menteri karena kebijakan pengadaan laptop untuk sekolah, sebagian besar masyarakat mungkin hanya melihat sisi negatifnya. Namun, bagi mereka yang pernah bergelut di dunia teknologi, kebijakan itu bisa dibaca dengan cara lain — sebagai upaya, meski tak sempurna, untuk memperkenalkan kemandirian digital di dunia pendidikan.

Sebagai seseorang yang tumbuh dari masa MS-DOS hingga kini mengenal sistem operasi mutakhir, saya bisa memahami arah pikirannya. Andai anggaran memungkinkan, mungkin sang menteri ingin membekali anak negeri dengan MacBook yang mumpuni. Namun realitas berkata lain — Chromebook-lah yang paling masuk akal. Meski tidak sekelas, keduanya punya nilai yang sama: sederhana, aman, dan efisien.

Dan nilai-nilai itu pula yang sesungguhnya sudah lama dihidupi oleh para penggiat open source di negeri ini — salah satunya melalui sebuah karya bernama GrombyangOS, sistem operasi hasil racikan anak bangsa dari Pemalang, Jawa Tengah.

Ketika Linux Menjadi Jalan Sunyi yang Diperjuangkan

Kita mungkin terbiasa hidup di bawah bayang-bayang Microsoft. Dari kecil hingga kini, sistem operasi Windows telah menjadi standar yang tak tergoyahkan. 

Padahal, sejak tahun 1991, seorang mahasiswa asal Finlandia bernama Linus Torvalds memperkenalkan alternatif bernama Linux — sistem operasi yang gratis, terbuka, dan bisa dikembangkan oleh siapa pun.

Seiring waktu, komunitas open source tumbuh besar. Mereka melahirkan berbagai perangkat lunak bebas biaya: mulai dari pengolah dokumen seperti LibreOffice, hingga aplikasi desain seperti GIMP dan Inkscape.

Namun, di Indonesia, Linux masih menjadi jalan sunyi. Dominasi Windows tak tergoyahkan, terutama karena alasan klasik: “Windows lebih mudah, dan—terus terang—lebih mudah dibajak.

Inilah ironi kita: software bajakan merajalela, sementara solusi gratis dan legal sering kali diabaikan.

Lahir dari Warung Kopi, Tumbuh dari Semangat Lokal

Sekitar satu dekade silam, di sebuah sudut kota kecil bernama Pemalang, sekelompok pegiat Linux sering berkumpul. Di antara mereka, ada sosok bersahaja yang kemudian menjadi penggerak lahirnya sistem operasi lokal itu — Kang Suro Dimerto, yang akrab disapa Mbah Suro.

Mbah Suro bukan nama besar di industri teknologi nasional. Ia bukan CEO startup, bukan pula pemegang gelar akademik bergengsi. Namun, di mata komunitasnya, ia adalah “mbah” — sosok pengayom yang sabar dan telaten membimbing siapa saja yang ingin belajar teknologi.

Dari diskusi-diskusi sederhana di warung kopi, lahirlah ide: “Bagaimana kalau kita buat distro Linux sendiri, yang khas Indonesia, bahkan khas Pemalang?”

Ide itu kemudian diwujudkan menjadi GrombyangOS — sistem operasi turunan Linux yang namanya diambil dari kuliner khas Pemalang, soto grombyang.

Filosofinya sederhana: seperti soto grombyang yang kaya rasa dan menghangatkan, sistem operasi ini diharapkan bisa menjadi sajian hangat untuk dunia pendidikan Indonesia.

GrombyangOS karya lokal dari Pemalang untuk Indonesia

Sistem Operasi Rasa Pendidikan

Berbeda dari distro Linux lain yang berfokus pada tampilan atau performa, GrombyangOS memiliki misi sosial: mendukung dunia pendidikan.

Banyak pengembangnya adalah guru, dosen, dan pemerhati pendidikan. Maka, sejak awal, GrombyangOS dibangun dengan orientasi kelas: ringan, mudah digunakan, dan dilengkapi dengan berbagai aplikasi pembelajaran.

Mulai dari perangkat lunak pengetikan, aplikasi matematika, program desain dasar, hingga alat bantu pengajaran — semua sudah tersedia dan gratis digunakan.

Tujuannya jelas: agar sekolah-sekolah di pelosok tak perlu lagi pusing membeli lisensi mahal atau bergantung pada software bajakan.

Tak butuh komputer canggih. Dengan spesifikasi minimal, komputer lama pun bisa hidup kembali. GrombyangOS berbasis Xubuntu dan menggunakan XFCE, salah satu desktop environment paling ringan di dunia Linux.

Tampilannya sederhana, sedikit mengingatkan pada Windows 95, tapi performanya tangguh.

Pengakuan Nasional: Ketika Karya Lokal Dilirik Astra

Inovasi ini ternyata tak luput dari perhatian publik. Pada SATU Indonesia Award 2015, GrombyangOS berhasil menyabet penghargaan Karya Inovatif bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, sekaligus Juara Favorit.

Bagi Mbah Suro dan timnya, penghargaan itu bukan sekadar prestasi, tapi bukti bahwa karya anak daerah bisa menembus panggung nasional. “Waktu itu kami tidak berpikir akan menang. Kami hanya ingin berbagi solusi,” kenang Mbah Suro dalam sebuah wawancara komunitas.

Dan memang, itulah kekuatan GrombyangOS: bukan sekadar sistem operasi, tapi gerakan sosial yang menyalakan semangat kemandirian digital di sekolah-sekolah.

Ketika Guru dan Siswa Belajar Tanpa Bayar

Salah satu sekolah yang merasakan manfaatnya adalah SMP-SMA Al-Barkah Cikalong Kulon, Cianjur. Saepul Anwar, S.Pd., M.M.Pd., guru di sana, mengisahkan pengalaman mereka menggunakan GrombyangOS di laboratorium bahasa.

Penghematan anggaran pembelian lisensi serta peluang menjadikan siswa lebih kreatif mendorong kami menggunakan GrombyangOS,” ujarnya.

Selain itu, menjadi kehormatan bagi kami karena terpilih sebagai sekretariat GrombyangOS area Cianjur.”

Cerita semacam ini menjadi bukti bahwa sistem operasi lokal bisa menghadirkan perubahan nyata, terutama bagi sekolah dengan keterbatasan anggaran.

Keunggulan GrombyangOS: Ringan, Aman, dan Bebas Biaya

Ada tiga hal yang membuat GrombyangOS layak dilirik oleh dunia pendidikan:

1. Ringan dan Hemat Sumber Daya

Tak butuh RAM besar atau prosesor modern. Komputer lama di sekolah pun bisa kembali berfungsi dengan baik.

2. Stabil dan Aman

Sebagai turunan Linux, sistem ini jarang crash, tak mengenal “blue screen”, dan sangat kebal terhadap virus.

3. Gratis dan Berlimpah Software Pendukung

Dari perangkat pengolah kata, spreadsheet, presentasi, hingga aplikasi multimedia — semuanya tersedia secara legal dan bebas biaya.

Jika dihitung, sekolah bisa menghemat jutaan rupiah hanya dari pengadaan lisensi. Anggaran itu bisa dialihkan untuk memperbaiki infrastruktur, membeli buku, atau mendukung kegiatan belajar lain.
GrombyangOS mendapat pengakuan dari ASTRA Award

Tantangan yang Masih Menghadang

Sayangnya, dukungan terhadap sistem open source di Indonesia masih minim.

Kebijakan pemerintah sering kali “setengah hati”. Banyak lembaga pendidikan yang masih bergantung pada software berbayar, padahal solusi gratis buatan anak negeri sudah ada di depan mata.

Lebih ironis lagi, GrombyangOS kini mulai jarang diperbarui. Repositori terakhirnya masih berbasis Ubuntu 16 — menandakan pengembangannya mulai melambat.

Bukan karena hilang semangat, tapi karena keterbatasan waktu dan sumber daya dari para relawan yang semuanya bekerja tanpa bayaran.

Namun, bagi Mbah Suro dan kawan-kawan, GrombyangOS bukan sekadar proyek teknis. Ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap ketergantungan digital, sekaligus manifestasi cinta mereka pada dunia pendidikan.

Warisan Semangat yang Tak Boleh Padam

Kini, jejak Mbah Suro mungkin tak lagi sering terdengar di dunia maya. Namun, semangat yang ia tanamkan lewat GrombyangOS tetap hidup di hati para pegiat open source di seluruh Indonesia.

Ia telah menunjukkan bahwa inovasi tidak selalu lahir dari laboratorium besar atau universitas ternama. Kadang, ia tumbuh dari warung kopi kecil, dari percakapan ringan di sela aktivitas mengajar, dari tangan-tangan sederhana yang percaya bahwa teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan.

Di tengah derasnya arus digitalisasi global, kisah GrombyangOS mengingatkan kita:

bahwa kemandirian digital bukan utopia, dan inovasi lokal bisa menjadi pilar penting menuju masa depan pendidikan yang merdeka.***

#APA2025-BLOGSPEDIA 


 

No comments for "GrombyangOS: Menyalakan Semangat Open Source dari Pemalang untuk Indonesia"