Meningkatkan Literasi Digital Sebagai Adaptasi Kebiasaan Baru di Era Pandemi

 

informasi digital

Assalamualaikum warrah matullahi wabarakatuh,

Beberapa waktu lalu pemerintah menerapkan status new normal dan membuat beragam aturan tentang kebiasaan baru yang harus kita ikuti dalam masa pandemi ini. Namun sebenarnya sejak awal pandemi ini mulai ramai di Indonesia, aku dan keluargaku sudah menerapkan kebiasaan baru ini. Bagaimana tidak, aku seorang tukang ketik di sebuah rumah sakit di Semarang yang juga menjadi tempat rujukan covid-19.

 Sebagai seorang tukang ketik yang setiap hari membaca data-data rumah sakit. Aku lumayan paham dengan pergerakan kasus covid-19 di tempat kerjaku. Hal tersebut membuat-ku beradaptasi lebih dini. Lebih cepat dari peraturan pemerintah tentang new normal yang hadir belakangan.

Berbeda dengan sebagian masyarakat yang dengan bebas melenggang dan sengaja mengindahkan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah, lorong-lorong jalan antar ruangan yang dulunya ramai lalu lalang, sekarang menjadi sepi. Jumlah pasien merosot tajam, bangsal-bangsal biasa diubah menjadi bagsal isolasi.

Sampai saat ini masih banyak perdebatan di masyarakat tentang keberadaan si covid ini. Ada yang mengganggapnya ada, ada pula yang menganggapnya ini hanyalah konspirasi. Ada yang menganggapnya penyakit ringan. Ada pula yang menganggapnya penyakit berbahaya. Bagi yang menganggap tidak ada, semoga kalian diberi kesehatan dan selalu dijaga dari pandemi ini. Bagi yang menganggap penyakit ini benar adanya. Aku sependapat dengan kalian. Namun berbahaya atau tidaknya penyakit ini. Hanya Allah yang tahu. Karena kondisinya antar satu pasien dengan pasien lain bisa berbeda-beda.

By the way.  Tulisan ini sengaja dibuat untuk ikut mendaftar ODOP, dan jujur aku nggak pernah menulis topik seserius ini hehe, mohon dimaafkan jika tulisan ini berantakan sekali. Cemungut.

New Normal vs Adaptasi Kebiasaan baru

Ketika pemerintah mengumumkan tentang new normal. Banyak yang mencibir. Mana ada sebuah perubahan drastis menjadi sebuah kenormalan. Lalu pemerintah-pun sempat merevisi menjadi adaptasi kebiasaan baru. Buat aku yang miskin literasi, sebenarnya kata new normal bisa digunakan juga. Karena arti dari new normal adalah kenormalan baru. 
Sebuah kenormalan yang harus terjadi di masa pandemi ini. Sebuah kenormalan yang harus dilakukan karena keparnoan kita terhadap penyakit ini. Kamu parno nggak sama penyakit ini? Kalau aku sih iya hahaha. Bagaimana tidak parno kalau setiap pulang kerja sering melihat teletubies lagi jalan-jalan.
 
New normal atau adaptasi kebiasaan baru. Sama saja sih, terserah suka memakai istilah yang mana. Toh tujuannya sama. Dua istilah ini sama dengan mau pakai perintah "if - then elseif-endif" atau mau pakai "select - case - end select". Keduanya punya arti yang berbeda, namun tujuannya sama.
 

Literasi

Menurut Kamus Buku Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi adalah kemampuan menulis dan membaca, pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu,  kemampuan individu dalam mengolah informasi pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Literasi sering dipadukan dengan kata lain. Misalnya literasi baca dan tulis, literasi sastra, literasi sains, literasi ekonomi dan lain sebagainya. 
 
 Literasi juga digunakan untuk dalam menunjukkan penggunaan huruf untuk merepresentasikan bunyi atau kata. Dalam hal ini literasi disamakan dengan kata "aksara". Namun literasi bukan hanya sebatas membaca dan menulis saja. Tetapi juga kemampuan individu dalam mengolah informasi sehingga berguna untuk kecakapan hidup.

Dalam perspeksi konvensional, peningkatan literasi sering kali dikaitkan dengan kemampuan baca dan menulis saja. Padahal lebih dari itu, peningkatan literasi seharusnya membawa seseorang ke level ilmu yang lebih tinggi. Yaitu menghapal dan memahami. 

Aku sengaja menggunakan kata menghapal. Karena akhir-akhir ini banyak sekali orang yang mulai memperlunak arti memahami. Tidak perlu hapal, yang penting paham. Duh. Bagaimanana bisa paham kalau tidak hapal?


Literasi digital di Indonesia


Pada masa pandemi ini, praktis dunia literasi berubah halauan ke sistem digital. Terutama informasi-informasi yang dahulu disampaikan melalui seminar, workshop dan pelatihan, saat ini diubah ke versi digital melalui webinar, bootcamp dan sebagainya. Percakapan, pertukaran informasi bahkan curhat pun sudah berubah ke dunia digital. 

Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi dan memanfaatkan secara sehat, cermat, bijak, cerdas, tepat dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Kemajuan mesin pencari dan banyaknya informasi yang beredar, membuat kita harus meningkatkan literasi digital kita. Kemampuan literasi digital bukan hanya sebatas bisa membaca dan mencari informasi. Namun juga mampu mengolah informasi yang kita dapat. 
 
Menurut kominfo, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pemakaian internet terbesar ke-6 di seluruh dunia. Namun, literasi digital di Indonesia peringkat no 7 dari 63 negara. Sayangnya peringkat ke-7 dari bawah, bukan dari atas. 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah internet adalah ladang informasi yang seharusnya membuat kita semakin pintar?
 
Sebuah berita/informasi yang bagus. Bukan hanya dilihat dari manfaatnya. Namun juga valid tidaknya informasi tersebut. Sebuah informasi dengan isi yang bagus, namun jika yang mengeluarkan tidak jelas. Maka berpotensi menjadi hoax atau informasi yang sia-sia.

Selain itu saat ini banyak orang yang memanfaatkan rendahnya literasi di Indonesia dengan membuat tulisan yang tidak salah. Namun juga tidak benar. Misalnya tentang klepon bukan makanan Islami. Klepon memang bukan makanan Islami. Bukan hanya klepon, boleh dibilang semua makanan tidak Islami, tidak Kristeni, Katoloki, Budai atau Hindui. Sepertinya tidak ada agama di Indonesia yang melabeli makanan dengan agama tertentu.  Namun isu ini menjadi viral sekali dan menjadi perdebatan di dunia maya. Entah apa tujuan dari si pemosting. Namun beliau benar-benar berhasil. Bahkan seorang temanku yang sepertinya cerdas-pun ikut memposting membela klepon.

 
Pemilahan informasi di dunia digital sangat penting  supaya kita bisa terbebas dari hoax dan penggunaan media digital yang tidak sehat. 

Peran ODOP Dalam Peningkatan Literasi Digital

Buat yang belum tahu ODOP itu apa, ODOP adalah sebuah dari sekian banyak komunitas menulis. ODOP singkatan dari One Day One Post. Dari singkatannya saja sudah kelihatan mereka ngapain. ODOP memberikan pelatihan menulis di media digital. Disini para peserta belajar menulis, saling mengunjungi, berdiskusi dan saling memotivasi untuk menulis setiap hari 1 postingan. Sesuai dengan namanya, satu hari satu post. 

Melawan Hoax dengan Konten Bermutu

Penyebab  utama berkembangnya hoax adalah karena informasi yang beredar di dunia digital di Indonesia, terutama di group sosial media seringkali tidak bermutu. Banyak berita yang dipelintir, dilebih-lebihkan. Atau sebuah informasi yang benar, namun sumber tidak benar. Bisa juga informasi benar disisipkan informasi tidak benar dan nama sumber tidak benar.
 
Selain sosmed, media-media berita juga sering memicu kontroversi dengan membuat berita dengan headline yang kontroversial dan mengandung unsur negatif. Seperti yang kita tahu, untuk membuat berita menjadi menarik, maka judul dibuat kontroversial, penuh intrik dan sering kali mengandung sentimen negatif.

Bila satu batch di ODOP ada seratusan peserta yang membuat konten/informasi bermutu. maka setiap hari minimal ada seratusan konten bermutu yang bisa diakses masyarakat. Dengan banyaknya sumber informasi bermutu, maka akan ada banyak informasi bermutu yang bisa diakses oleh masyarakat. 
 
Google menggunakan pendekatan relativitas dalam pencariannya. Dan tidak bisa kita pungkiri, google adalah mesin pencari yang paling populer saat ini. Dengan melimpahnya konten/sumber informasi yang bermutu. Maka masyarakat yang membutuhkan/mencari informasi lewat google akan mendapatkan list hasil dari konten/sumber informasi yang bermutu. 

Selain dari mesin pencari, tentu saja kita, setiap individu di komunitas ODOP adalah agen perubahan. Agen perubahan yang akan meningkatkan literasi digital di Indonesia. Di ODOP sendiri ada berberapa media. Ada yang menulis di instagram, facebook atau blog. Aku pribadi menggunakan ketiganya. Biasanya di facebook dan instagram aku membuat kata pembuka saja. Sedangkan untuk konten lengkapnya ada di blog. Dengan aktif menshare ke social media yang kita punya. Kita telah berperan memberikan informasi yang baik ke masyarakat digital di Indonesia. Benar begitu kawan?


Masa pandemi membuat jumlah pemakai internet di Indonesia semakin banyak. Namun jumlah penggunaan internet peringkat ke-6 di dunia, seharusnya juga diimbangi dengan peringkat literasi digital. Hal ini menjadi pekerjan rumah bagi kita, sebagai penggiat literasi digital untuk ikut serta meningkatkan literasi digital di masyarakat, terutama pada masa pandemi ini. Mumpung masyarakat sedang semangat-semangatnya mengakses konten digital. Mari kita perbanyak konten digital yang bermutu.












 



 

 

 




 

2 comments for "Meningkatkan Literasi Digital Sebagai Adaptasi Kebiasaan Baru di Era Pandemi"

  1. Menarik Kak artikelnya, tapi kok terasa menggantung. Seakan-akan ada yang belum tuntas. Aaah, kakak pasti punya hobi menggantungkan hubungan ya... wkwkw.

    ReplyDelete

Post a Comment