Benarkah Rumah Sakit Mudah Mengcovidkan Pasien Meninggal?

pemeriksaan sampel
ilustrasi dari kumparan (Foto: Dok. Humas Pemkab Tegal)


Beberapa hari lalu aku diwhatsapp temanku dari bagian pelaporan covid yang mengaku pusing karena pelaporan covid 19 ke provinsi harus disertai mengupload surat kematian, termasuk pasien-pasien yang dahulu sempat dilaporkan. Sebagai informasi, setiap ada pasien didiganosa covid, fasilitas kesehatan harus mengirimkan laporan setidaknya ke 4 tempat. Dinkes Kota, Dinkes Propinsi, Kemkes dan Gugus Tugas.Semuanya meminta data yang hampir sama. 

Setiap instansi membuat formulirnya sendiri-sendiri dan data yang diminta cenderung sama tapi berbeda. Nah lo, bingung kan? Contohnya riwayat kontak. Dari Dinkes Kota hanya meminta data tanggal, nama, hubungan, no telpon, sedangkan dari provinsi hanya meminta tanggal, nama dan hubungan. Belum lagi dari Kemkes dan Gugus Covid. Dan hebatnya, semua instansi membuat aplikasi pelaporan sendiri-sendiri. 

Banyaknya data yang harus dikirimkan dan banyaknya aplikasi yang harus dibuka secara tidak langsung akan membebani rumah sakit. Rumah sakit yang seharusnya fokus merawat pasien pekerjaannya bertambah membuat laporan-laporan ke berbagai instansi. Mengapa tidak dibuat saja sistem berjenjang. Rumah sakit hanya melaporkan ke Dinkes Kota/Kabupaten, kemudian instansi diatasnya meminta data dari instansi yang paling bawah, yaitu Dinkes Kota? 
Jawabnya adalah ego sektoral.
 
Tadinya aku terkekeh mendengar jeritan hatinya. Mau bagaimana lagi, sebagai petugas rumah sakit tentu saja kami berkewajiban melaksanakan tugas yang diberikan atasan. Sebenarnya aku kasihan juga dan setelah aku membaca berita beberapa hari lalu, perintah mengupload surat kematian  mungkin berhubungan dengan berita ini:

Dilansir dari cnbcindonesia, Kepala Staff Presiden, Moeldoko mengatakan kepada  Gurbernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada saat beliau bertandang ke Kantor Pemprov Jateng, "Banyak asumsi muncul semua yang meninggal di rumah sakit dicovidkan. Ini sudah terjadi di Jawa Tengah. Ada orang diperkirakan terkena Covid-19 terus meninggal, padahal hasil tes belum keluar. Setelah hasilnya keluar, ternyata negatif. Ini kan kasihan. Ini contoh-contoh agar kita bisa memperbaiki hal ini." 

Bapak Ganjar Pranowo berjanji akan melakukan verifikasi terhadap pasien meninggal Covid. Dan salah satu atau mungkin satu-satunya cara yang bisa ditempuh yaitu meminta rumah sakit wajib mengupload dokumen Surat Kematian. 

Benarkah Jenazah Yang Dikuburkan Dengan Protokol Covid Sudah Pasti Positif Covid-19?

Kata siapa Rumah Sakit, khususnya tenaga medis adalah garda terdepan penanganan Covid-19? Aku sangat tidak setuju dengan pernyataan ini. Garda terdepan dari penanganan Covid-19 adalah kita. Aku, kamu, dia, mereka, kakak, teteh, nenek, kakek semua orang, semua individu dan pemerintah adalah garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Mereka yang digadang-gadang sebagai garda terdepan, sebenarnya malah menjadi garda terakhir. Ketika semua sistem pencegahan penularan Covid sudah kita ikuti dan eh ternyata takdir berkata lain, barulah mereka bekerja merawat kita. 

Sebagai garda terakhir. Sudah pasti beban mereka lebih tinggi. Sebagai contoh dalam pertandingan Sepakbola, moment yang paling menegangkan dalam pertandingan Sepakbola adalah saat musuh berhasil menerobos pertahanan dan tepat berada didepan penjaga gawang. 

Seperti yang kamu tahu, alat keamanan kiper paling lengkap dibanding pemain lain. Mana ada pemain bola selain kiper yang menggunakan pelindung tangan. Nggak ada kan? 

Karena berada di garda paling belakang. Perlindungan terhadap para nakes yang merawat pasien covid-19 sangat diperhatikan. Mereka wajib menggunakan APD lengkap selama berada di ruang perawatan. Karena APD yang berlapis dan yang pasti harganya nggak murah. Mau nggak mau mereka harus memakai itu selama jam kerja (8 jam).

Sudah menjadi prosedur dirumah sakit, setiap ada pasien yang diduga memiliki gejala covid-19, maka mereka akan mendapat status PDP (sekarang menjadi probable). Pasien PDP akan diisolasi diruangan tersendiri supaya tidak bersinggungan dengan pasien lain. Selanjutnya pasien akan diambil sampel dahaknya untuk diperiksa dengan metode PCR/swab untuk mengetahui apakah pasien tersebut positif covid atau tidak.

Masalahnya secepat-cepatnya test PCR/Swab membutuhkan waktu beberapa jam. Dalam beberapa jam penantian hasil tersebut bisa jadi pasiennya meninggal duluan. Sebagai salah satu tindakan pencegahan, penularan maka dilakukan prosedur penanganan covid kepada almarhum. 

Hal ini yang seringkali menjadi miss persepsi di masyarakat, Kebanyakan masyarakat menganggap kalau jenazah dibuntel  plastik, dimasukkan kedalam peti mati, yang mengantar menggunakan APD lengkap, berarti dia positif covid. Padahal tidak demikian.

Masalahnya banyak masyarakat yang parno duluan dengan situasi seperti ini. Kadang aku sering bingung, diberi berita baik meremehkan. diberi berita buruk dianggap menebarkan ketakutan. Katanya takut, tapi nongkrong di poskampling tanpa masker, kan lucu.
 
Hal inilah yang mungkin mendasar isu yang disampaikan oleh Bapak Moeldoko,

Apakah Mengcovidkan Pasien Itu Mudah

Test PCR/Swab

Mengcovidkan pasien itu mudah sekali lho. tapi bagi aku atau kamu yang bukan tenaga kesehatan, tinggal bilang saja si anu kena covid. Gampangkan? Namun berbeda dengan standart yang dipakai oleh medis. Untuk mengcovidkan pasien harus ada syarat mutlak yang harus dipenuhi, yaitu hasil test PCR/Swab. Hasil pemeriksaan ini hanya bisa didapat dari test laboratorium. Jadi nggak ngasal dan nggak semua pasien akan di test PCR/Swab. Test PCR/Swab itu biayanya nggak murah, bisa tekor rumah sakit kalau semua pasien di test PCR/Swab. Pasien yang ditest PCR/Swab adalah pasien yang memiliki gejala atau memiliki riwayat keterkaitan dengan pasien Covid. Dan untuk mendapatkan gejala-gejala tersebut dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan. Misalnya pemeriksaan tanda vital oleh perawat dan dokter. Apabila pasien memiliki gejala covid, mungkin akan dilakukan rongent terlebih dahulu untuk memeriksa keadaan paru-paru. Bila ada hal-hal yang mencurigakan di paru-parunya. Maka dilakukan test PCR/Swab 
Untuk melakukan skrining mandiri kamu bisa mengunjungi web test covid RSWN di http://www.rswnsmg.com/testcovid19/  , kemudian pilih skrining covid-19.

Etika Dan Prosedur Pelayanan Medis Medis

Setiap tenaga kesehatan pasti memiliki etika dan prosedur pelayanan yang harus diikuti. Aku rasa mereka tidak akan mengorbankan harga diri mereka dan menempuh resiko tinggi untuk melakukan itu. Apalagi perawatan pasien tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Ada bagian-bagian lain yang ikut merawat pasien, misalnya dokter, perawat, radiology,  laboratorium, petugas non medis seperti bagian gizi misalnya. Rasanya mustahil mereka melakukan kebohongan berjamaah, rasanya mustahil mereka semua pendosa yang hina yang menghamba pada uang semata kemudian memalsukan semua data pasien. Seperti yang aku terangkan diatas, untuk mendiagnosa covid-19 ada tahapan-tahapannya. Bila rumah sakit memang sengaja mengcovidkan pasien, berarti mereka harus merekayasa semua data-data itu.

Rumah Sakit Mengcovidkan Pasien Supaya Dapat Dana Dari Pemerintah

Yang terjadi justru kebalikannya. Banyak rumah sakit yang kelimpungan karena pandemi ini. Merawat pasien covid itu tidak murah. Rumah sakit harus memiliki ruang standart isolasi. Dan jangan mengira kalau sudah memberi status covid pada pasien, pemerintah langsung membayar tanpa memeriksa kelengkapan data.  Kenyataannya tidak seperti itu. Klaim covid sangat susah sekali. Verifikator BPJS sangat jeli memeriksa data. Bahkan alamat atau umur salah tulis saja mereka mengembalikan berkasnya apalagi kalau kurang data penunjang seperti hasil swab dan lain sebagainya. Belum lagi jika terjadi kendala sistem, baik sistem di rumah sakit maupun sistem milik BPJS atau Kemkes. Selain itu peraturan tentang klaim covid sering berubah-ubah. Hal ini menjadikan beban rumah sakit semakin berat.  

BPJS dan pemerintah memiliki sistem yang berhubungan dengan klaim. Mereka memiliki standart pendukung diagnosis yang harus diberikan ke pasien secara sistem yang terkomputerisasi. Misalnya nih pasien didiagnosa A,  pada diagnosa tersebut seharusnya mendapat pemeriksaan penunjang a,b,c,d. Eh ternyata rumah sakit hanya melakukan pemeriksaan a, b, c. Maka nilai klaimnya akan berubah secara otomatis dari sistem mereka. 

Setelah data klaim dimasukkan, diajukan dan sudah disetujuipun tidak langsung dibayar oleh pemerintah. Rumah sakit harus menunggu lagi. Padahal untuk merawat pasien covid mereka membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ditambah jumlah kunjungan pasien biasa baik BPJS maupun pasien Umum berkurang drastis. 

PENUTUP

Pandemi Covid 19 sangat menggegerkan dunia, terutama Indonesia. Simpang siur informasi tentang covid menimbulkan bermacam asumsi dan mispersepsi antara fasilitas kesehatan dengan masyarakat.
 Ditambah lagi dengan teori-teori konspirasi tentang covid yang akhirnya ikut menggiring cara pandang masyarakat terhadap penanganan pasien covid-19. 

Mispersepsi ini seharusnya diluruskan, jangan sampai hal-hal seperti ini mengendorkan semangat para nakes. Perjuangan mereka sangat berat. Mereka ibarat seorang kiper menghadapi tendangan pinalti. Beban mereka sangat berat. Janganlah kita menambah beban pikiran mereka yang kemudian melemahkan mereka. 

Sudah cukup banyak berita tentang nakes yang akhirnya tumbang karena penyakit ini. Jangan ditambah lagi. 
Mari kita beri mereka dukungan agar mereka bersemangat merawat orang-orang yang sakit. Semoga pandemi ini segera berlalu. Aku pribadi sudah bosan pakai masker seharian di tempat kerja. Padahal masker yang aku pakai hanya masker kain. Bukan masker N-95 ditambah masker medis seperti para nakes di ruang isolasi. 

Terima kasih sudah mampir. Kalau ada kekurangan dalam tulisan ini, semua karena aku kurang ilmu. Kalau ada kelebihan diambil saja, karena itu dari Allah. 



 



4 comments for "Benarkah Rumah Sakit Mudah Mengcovidkan Pasien Meninggal? "

  1. Benar-benar informasi yang bermanfaat untuk orang non medis.

    Betapa berat sekali berada di garda paling belakang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih mbak. Memang berat sih mbak. Karena garda terakhir. Bebannya sangat berat. Kalau garda yg lain ketika gagal masih ada garda dibelakangnya

      Delete
  2. Akhirnya tulisan ini keluar juga, padahal rencananya udah dari kapan tahun, wkwk. Aku juga udah bosan sih pakai masker, tapi kata ustaz nggak boleh bosan, harus sabar dalam ujian, hehe. Semangaaat!

    ReplyDelete

Post a Comment